ARSITEKTUR
MASJID SHIRATAL MUSTAQIM
DI
DI
SAMARINDA SEBERANG
Masjid merupakan hasil budaya manusia dalam bentuk bangunan untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Arsitektur masjid di Nusantara (Indonesia) secara umum memiliki beberapa kesamaan, tetapi setiap bangunan masjid juga memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan perkembangan budaya yang ada pada daerah dibangunnya masjid. Sifat Islam yang terbuka terhadap budaya setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak adanya ketentuan khusus mengenai bentuk bangunan masjid telah memberi peluang suatu kebudayaan daerah tertentu untuk mempengaruhi arsitektur masjid sehingga memiliki arsitektur berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara.
Masjid Shiratal Mustaqim yang diresmikan pada tanggal 27 Rajab 1311 H (1891 M). Masjid Shiratal Mustaqim dibangun oleh seorang bangsawan Kesultanan Pontianak dari Kalimantan Barat yang datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara dan tinggal di daerah Samarinda Seberang yang pada saat itu merupakan daerah bagi imigran Bugis dari Sulawesi. Pada saat ini secara administratif Masjid Shiratal Mustaqim termasuk dalam Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur.
Arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim merupakan ciri masjid kuno di Nusantara yang didirikan di atas tiang, berdenah bujur sangkar, menggunakan atap tumpang, memiliki mihrab, serambi, kolam air, dan menara sebagai kelengkapannya. Masjid Shiratal Mustaqim dibangun oleh bangsawan Pontianak sebagai sarana pengembangan agama untuk masyarakat di daerah Samarinda Seberang yang sedang mengalami penurunan tingkat kehidupan sosial kemasyarakatannya.
Samarinda Seberang merupakan daerah bagi suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur pada permulaan abad ke 18.
Masjid Shiratal Mustaqim dibangun dalam lingkungan adat budaya Bugis sehingga unsur arsitektur Bugis mempengaruhi beberapa komponen arsitektur masjid terutama pada tiang utama dan ragam hias. Unsur arsitektur Bugis yang diterapkan pada masjid tersebut adalah unsur yang memiliki makna sebagai lambang perlindungan kepada pengguna bangunan dan unsur yang bermakna harapan akan kehidupan yang lebih baik. Arsitektur tradisional Pontianak yang dibawa oleh Said Abdurhaman Bin Assegaf sebagai pembangun masjid turut mempengaruhi arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim. Unsur arsitektur pontianak lebih beragam karena pada masa tersebut arsitektur tradisional Pontianak telah banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Belanda dan kemudian turut mempengaruhi arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim.
Akulturasi arsitektural yang terjadi pada Masjid Shiratal Mustaqim disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: faktor alam, faktor agama, faktor struktur pemerintahan, sosial budaya, dan faktor pengetahuan. Faktor struktur pemerintahan terjadi karena Said Abdurrahman bin Assegaf adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan Kutai Kartanegara sehingga dapat melakukan intervensi terhadap arsitektur masjid yang dibuat atas perintahnya.
pendatang yang pada tersebut mengalami penurunan tingkat kehidupan sosial kemasyarakatannya. kehidupan masyarakatnya mengalami penurunan masanya di lingkungan imigran Bugis yang datang ke Kutai Kartanegara. Arsitektur masjid tersebut dijadikan gambaran bentuk terjadinya akulturasi kebudayaan dari etnis tertentu yang terlibat pada pembangunan masjid tersebut. a perbedaan terpengaruh oleh bangunan merupakan hasil karya manusia yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia pendukungnya. memiliki sifat yang dinamis karena arsitektur selalu berkembang agar dapat memenuhi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Arsitektur sebagai suatu karya buatan manusia sangat tergantung pada budaya pendukungnya yang tidak lepas dari pengaruh keadaan geografis, geologis, iklim, agama atau kepercayaan, teknologi, latar belakang sosial atau kemasyarakatan dan kondisi politiknya dan pemerintahannya.
Masjid merupakan hasil budaya manusia dalam bentuk bangunan untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Arsitektur masjid di Nusantara (Indonesia) secara umum memiliki beberapa kesamaan, tetapi setiap bangunan masjid juga memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan perkembangan budaya yang ada pada daerah dibangunnya masjid. Sifat Islam yang terbuka terhadap budaya setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak adanya ketentuan khusus mengenai bentuk bangunan masjid telah memberi peluang suatu kebudayaan daerah tertentu untuk mempengaruhi arsitektur masjid sehingga memiliki arsitektur berbeda dengan daerah lainnya di Nusantara.
Masjid Shiratal Mustaqim yang diresmikan pada tanggal 27 Rajab 1311 H (1891 M). Masjid Shiratal Mustaqim dibangun oleh seorang bangsawan Kesultanan Pontianak dari Kalimantan Barat yang datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara dan tinggal di daerah Samarinda Seberang yang pada saat itu merupakan daerah bagi imigran Bugis dari Sulawesi. Pada saat ini secara administratif Masjid Shiratal Mustaqim termasuk dalam Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Propinsi Kalimantan Timur.
Arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim merupakan ciri masjid kuno di Nusantara yang didirikan di atas tiang, berdenah bujur sangkar, menggunakan atap tumpang, memiliki mihrab, serambi, kolam air, dan menara sebagai kelengkapannya. Masjid Shiratal Mustaqim dibangun oleh bangsawan Pontianak sebagai sarana pengembangan agama untuk masyarakat di daerah Samarinda Seberang yang sedang mengalami penurunan tingkat kehidupan sosial kemasyarakatannya.
Samarinda Seberang merupakan daerah bagi suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur pada permulaan abad ke 18.
Masjid Shiratal Mustaqim dibangun dalam lingkungan adat budaya Bugis sehingga unsur arsitektur Bugis mempengaruhi beberapa komponen arsitektur masjid terutama pada tiang utama dan ragam hias. Unsur arsitektur Bugis yang diterapkan pada masjid tersebut adalah unsur yang memiliki makna sebagai lambang perlindungan kepada pengguna bangunan dan unsur yang bermakna harapan akan kehidupan yang lebih baik. Arsitektur tradisional Pontianak yang dibawa oleh Said Abdurhaman Bin Assegaf sebagai pembangun masjid turut mempengaruhi arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim. Unsur arsitektur pontianak lebih beragam karena pada masa tersebut arsitektur tradisional Pontianak telah banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Belanda dan kemudian turut mempengaruhi arsitektur Masjid Shiratal Mustaqim.
Akulturasi arsitektural yang terjadi pada Masjid Shiratal Mustaqim disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: faktor alam, faktor agama, faktor struktur pemerintahan, sosial budaya, dan faktor pengetahuan. Faktor struktur pemerintahan terjadi karena Said Abdurrahman bin Assegaf adalah seorang pejabat tinggi Kerajaan Kutai Kartanegara sehingga dapat melakukan intervensi terhadap arsitektur masjid yang dibuat atas perintahnya.
pendatang yang pada tersebut mengalami penurunan tingkat kehidupan sosial kemasyarakatannya. kehidupan masyarakatnya mengalami penurunan masanya di lingkungan imigran Bugis yang datang ke Kutai Kartanegara. Arsitektur masjid tersebut dijadikan gambaran bentuk terjadinya akulturasi kebudayaan dari etnis tertentu yang terlibat pada pembangunan masjid tersebut. a perbedaan terpengaruh oleh bangunan merupakan hasil karya manusia yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia pendukungnya. memiliki sifat yang dinamis karena arsitektur selalu berkembang agar dapat memenuhi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Arsitektur sebagai suatu karya buatan manusia sangat tergantung pada budaya pendukungnya yang tidak lepas dari pengaruh keadaan geografis, geologis, iklim, agama atau kepercayaan, teknologi, latar belakang sosial atau kemasyarakatan dan kondisi politiknya dan pemerintahannya.